Kamis, 27 Maret 2008

Duh... Dunia Pendidikan Kita

Topiknya rasanya beraaaaat banget ya...

Aku tergerak nulis ini karena baru abiss baca buku fenomenalnya Andrea Hirata yang "Laskar Pelangi". Terus terang, buku itu membangkitkan kenangan-kenangan masa lalu waktu aku masih duduk di SD Kuntum Wijaya Kusuma Petang (sekarang SD Persit) yang keadaannya hampir-hampir mirip dengan SD Muhammadiyah-nya Laskar Pelangi.

Berbeda 180 derajat dengan SD Kuntum Wijaya Kusuma Pagi yang mirip dengan SD PN, kami yang hanya ber-29 orang waktu itu benar-benar merasa enjoy dengan kehidupan kami. Dan lagi-lagi itu adalah kenangan yang indah buat masing-masing pribadi

Tapi yang membuat saya ingin membahas masalah ini sebenarnya bukan semata-mata bukunya bang Ikal, melainkan keluhan mama saya yang sudah lebih dari sebulan ini selalu sama. Keluhannya kira-kira begini...."Duuuh, mama mesti gimana lagi ngajarinnya suaya anak-anak ini bisa....????"

BIsa apa sih???

Ya, bisa menangkap pelajaran dengan baik karena kebetulan mama punya sanggar belajar di rumah. Sanggar ini adalah hasil perluasan dari bimbingan belajar di rumah yang dimulai dari 5 orang siswa. Tapi jangan dibayangkan bimbingan belajar ini adalah bimbingan belajar yang mesti bayar mahal untuk tiap mata pelajarannya dan penuh dengan fasilitas lengkap. Bimbel itu diselenggarakan terkait dengan keprihatinan mama terhadap anak-anak di lingkungan sekitar rumah yang punya potensi tapi mereka gak punya biaya dan gak punya orang tua yang membimbing mereka belajar karena keterbatasan pengetahuan mereka. Para siswa ini mayoritas adalah penduduk asli jakarta. Peserta didik tidak dipungut bayaran dan beberapa dari mereka diusahakan mendapat beasiswa dari donatur sanggar yang tak lain adalah mama sendiri dan sumbangan dari teman-teman mama.

Sekarang sanggar sudah berkembang. Sudah ada 80 siswa aktif yang belajar di sana dan ada TPA yang gratis juga untuk para peserta didik. Dari beberapa peserta, ada yang membayar uang les karena mereka anak yang mampu. Tapi anak-anak sekitar rumah yang tidak mampu, tetap dibebaskan dari biaya. Mungkin istilahnya "subsidi silang". Toko yang mama buka juga bisa sedikit memberikan dana untuk keberlangsungan sanggar. Setidaknya untuk melengkapi koleksi buku-buku di perpustakaan yang bisa dipinjam peserta didik.

Kembali ke keluhan mama...
Akhir-akhir ini mama kerepotan menangani anak-anak yang dirasa mama adalah korban dari sistem pendidikan Indonesia. UAN atau apalah namanya, saat ini menjadi momok besar bagi pendidik dan yang dididik. Guru punya target untuk ngabisin pelajaran sesuai kurikulum. Siswa cuma disuruh beli buku, beli lks, terus dikasih tugas dari halaman 1 sampe 20, tanpa diajarin lebih dulu. Bahkan di beberapa kasus, untuk ngerjain tugas bahasa inggris perlu kaset yang harus didenger untuk Listening. Kalo tugas gak dikerjakan, siswa dimarahin. Padahal gimana cara ngerjainnya coba???

Terakhir mama mengeluh bahwa muridnya yang kelas 2 SMP gak melakukan apa-apa kecuali menunggu aba-aba mama untuk menulis. Apa yang diucapkan mama baru ditulisnya. Padahal sistem pengajaran mama bukan sistem belajar mengajar seperti di sekolah. Mama hanya bertindak sebagai fasilitator yang menemani siswa belajar. Siswa diberikan soal latihan yang sesuai dengan kemapuannya dan sedikit demi sedikit ditingkatkan apabila siswa sudah menguasai materi. Jadi, dalam satu waktu mama bisa menggabungkan murid sd sampai smp untuk belajar di satu ruangan karena gaya mengajar mama yang disesuaikan dengan individu siswa. Anak kelas 3 sd yang sama-sama belajar bisa berbeda kemampuannya dalam mengerjakan soal tergantung kemauannya untuk belajar dan kemauan dia untuk meningkatkan kemampuannya. Lha murid yang cuma menunggu seperti ini, kapan belajarnya dan kapan bisa meningkatnya?

Belum lagi, dua minggu yang lalu, ada serombongan ibu-ibu yang membawa anak-anaknya kelas 3 SMP, ber-8 orang, minta mama untuk mengajarkan anaknya matematika, bahasa inggris, bahasa indonesia dan pelajaran lain yang diujikan dalam UN tanggal 8 April nanti (kalo nggak salah). Mama cerita sama aku... "masa', ik, mereka itu nilai latihan ujian bahasa indonesia dapat 3. lha mama bilang, wah ini pasti anak modern nih yang pinter bahasa inggris sampe nilai bahasa indonesianya jeblok. dengan tersipu-sipu anaknya jawab "bu, bahasa inggrisnya dapat 2,". Lha...yang salah gurunya apa muridnya sih, ik..., kata mama. Dan kata mama lagi, "terus, ibunya dengan lantang dan yakin bilang...bu, saya bayar berapa aja deh yang penting anak saya lulus..." Huehahahah...kebayang deh wajah mama waktu denger si ibu bilang begitu....

Duh...pendidikan Indonesia....

Tidak ada komentar: