Sebelum liburan Idul Adha kemarin, Desy telpon aku dari Semarang. Dia laporan kalo tanggal 20 dia bakal ke Jakarta sama Martin dan Hendrik. Sayangnya, tanggal 19 aku yang mau pergi ke Semarang untuk liburan di sana. Sasha sudah homesick sama rumahnya Dia kecewa banget dengernya. Dia bilang, Martin sudah kangen Sasha. Bahkan minum susu pun harus liat foto Sasha dulu. Aku tanya dia, kapan dia pulang ke Semarang? Katanya tanggal 24 sudah di Semarang. Desy minta ketemu tanggal 25. Lho, apa kamu gak natalan, Des? Enggak kok, mbak, acaranya udah selesai. Kan ikut misa yang malam, jai tanggal 25 udah gak ada acara. Well, oke deh. So, tanggal 25 Des 2007, kami sepakat ketemuan.
Sebelum cerita lebih banyak tentang liburan aku, aku mau sedikit cerita awal pertemananku dengan Desy.
She was my neighbour, actually. Dia pindah ke sebelah bersama anaknya, Martin dan suaminya, Hendrik. Seingatku, semenjak dia pindah ke sebelah, rumahku gak pernah sepi karena tiap malam harus dengar bayi menangis dan omelannya yang panjang pendek. Enath omelannya ditujukan pada siapa. Jujur aja, aku yang lagi hamil cukup stres dengar bayi nangis semaleman kayak gitu. Gak cuma malem, tapi juga pagi dan siang. Entah kenapa, Desy gak pernah berhasil menenangkan Martin. Tapi, kalo siang, aku gak terlalu sering dengar tangis Martin karena Desy lebih sering pergi di siang hari.
Sebagaimana orang Chinese lainnya di sekitar rumah, Desy tidak banyak bergaul. Dia jarang keluar. Bahkan, pertemuan pertama dengannya pun karena dia protes gara-gara bau cat waktu kami mengecat ulang rumah. Dengan cukup keras dia tidak memperbolehkan tukang mengecat kanopi garasa yang letaknya di atas tembok. Dia gak mau mobilnya rusak kena cat dan rumahnya dimasuki orang asing. Aku gak bertemu langsung sebenarnya, suamiku yang minta ijinnya waktu itu. Waktu itu rasanya jengkel bin gondok, tapi aku gak mau ribut. Tukang catku yang ikutan bete, akhirnya nangkring di atas tembok dan tetap nekat ngecat kanpi garasi waktu Desi pergi.
Di perumahanku, penduduk mayoritas adalah orang-orang Chinese. Secara di Semarang memang banyak Chinese-nya. Gak ubahnya seperti kota Pontianak dan Surabaya. Jadi tipe orang kayak Desy is very common disana. Tapi di blokku, mayoritasnya masih orang jawa.
Back to Desy... Setelah aku melahirkan dan Desy kira-kira sudah 6 bulan tinggal di sebelahku, akhirnya aku dan dia sama-sama having something in common. Sama-sama punya ank maksudnya. Tapi keadaan masih belum banyak berubah. Tangisan Martin makin sering terdengar, begitu juga omelan Desy gara-gara nyuruh Martin makan. Sampai akhirnya, nenek Sasha yang sering ke Semarang dan selalu mendengar tangisan itu jadi gregetan. Suatu ketika Martin nangis di luar, nenek langsung mendatangi Martin dan menghiburnya. Mamaku mulai ajak Martin ngobrol. Hebatnya, tangisan Martin langsung berhenti. Desy yang tadinya di dalam akhirnya nengok anaknya di luar. Tentu saja waktu itu Martin diserahkan ke baby sitternya. Setelah kami sama-sama di luar, mulailah aku mengajak Desy ngobrol. So, start dari situ, setelah aku mencoba selalu berinteraksi dengannya, Desy pun juga melakukan hal yang sama. Benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.
Sejak saat itu, kami seperti tak terpissahkan. Saat aku gemas melihat cara Desy memberi makan Martin dengan cara yang menurutku tidak manusiawi, hehehe...soalnya Desy gak sabaran sama Martin yang gak mau makan, aku pun mengajaknya ikut seminar Pesat sehingga dia memperbaiki pola pemberian makan ke Martin. Dia pun mulai membeli majalah-maajalah yang berhubungan dengan parenting seperti aku, hehehe. Dia mulai memperlakukan para baby sitternya dengan lebih baik, padahal dia tadinya galak banget. Desy juga memperkenalkan aku dengan facial yang sama sekali gak aku sentuh. Pokoknya kami saling mengisi deh. Yang jelas, karena kami sama-sama suka makan, kami juga suka jalan-jalan sekalian makan-makan.
Ternyata berbeda itu tidak menyakitkan. Bahkan menyenangkan. Kadang orang-orang masih melihat kami dengan pandangan yang aneh. Mungkin mereka bertanya-tanya...kok bisa ya orang jawa sama orang chinese ini temenan. Tapi...again, tak kenal maka tak sayang. Mereka cuma liat dari luar, tapi belum berproses seperti kami.
Saya attach liburan kami kemarin ya. Kami di Ice World, keluarga Desi dan keluarga mas Riza. Foto diambil oleh Desi dan Hendrik. Oya, ada juga foto liburan sebelumnya di Ngrembel, tempat ikan bakar.
So, perbedaan itu indah....